Dr. Eng. Bambang Setia Budi
Menarik sekali mengikuti sesi demi sesi di program acara 2nd Indonesia Human Capital Summit 2017 di Ritz Carlton, Pacific Place, tanggal 9-10 November 2017. Acara yang digagas oleh Forum Indonesia Human Capital atau FIHC dari kumpulan 118 BUMN di seluruh Indonesia seperti TELKOM, Bank MANDIRI, BNI, BRI, Pertamina, PLN, PT KAI, Angkasa Pura, Adikarya, dll ditambah dengan anak-anak perusahaannya ini pesertanya tercatat hingga lebih dari 1200an orang perwakilan dari perusahaan-perusahaan tersebut. Program acaranya didesain selama 2 hari, dari jam 08.00 hingga 18.00, dan pada hari kedua hingga pkl 21.30 malam hari.
Tulisan ini hanya catatan kecil atau tepatnya potongan-potongan pendek yang teringat atau dianggap penting yang sebagiannya saya ikuti dan ditambah dengan opini pribadi dengan harapan untuk bisa berbagi sebagian materi, diskusi, pengetahuan, wawasan, dan isu yang berkembang yang perlu diketahui serta bermanfaat bagi pembaca/pemerhati SDM yang tidak berkesempatan hadir umumnya, dan anggota Indonesia Career Center Network atau para pegiat pusat karir di kampus-kampus khususnya.

HARI 1
Keynote Speaker Keynote speaker hari pertama ini menampilkan Rhenald Kasali (Founder Rumah Perubahan, Guru Besar FE UI) dan Rudiantara (Menkominfo) bertajuk Stimulating Economies through Fostering Talent & Developing Digital Leadership. Disini menekankan pada bagaimana mengantisipasi dan merespon apa yang disebut Future Disruption sebagai dampak dari world of digital technology. Bagaimana dengan masa lalu yang serba jelas, tertentu, dan cenderung stabil, sementara masa kini dan masa depan yang serba tidak jelas, tidak menentu, dan tidak stabil. Kita melihat realitas orang-orang tua yang kaya pengalaman tetapi sudah usang, apalagi CEO atau manager yang usianya diatas 50 tahun, memiliki banyak pengalaman tetapi sekaligus menjadi lamban dan terbelenggu masa lalunya sendiri, sementara anak-anak muda generasi baby boomers yang tidak tahu dan tidak peduli dengan masa lalu tetapi memiliki dan punya gagasan masa depan.
Persaingan bisnis hari ini adalah persaingan bisnis model. Yang menang hari ini dan menjadi kanibal adalah mereka yang memiliki karakteristik: simpler (lebih sederhana), cheaper (lebih murah – karena sharing resource), accessible (lebih terjangkau), dan faster (lebih cepat).
Ada banyak jenis pekerjaan yang akan tereliminasi/hilang, namun ada banyak jenis pekerjaan yang baru yang tidak dibayangkan sebelum ini. Bahkan tidak sampai 20 tahun kedepan, pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan seperti ini akan hilang: kasir, koran, bankir, guru besar di universitas, dll. Sementara yang muncul adalah pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan seperti youtube, big data, blogger, dll.
Sejujurnya, saya tidak sepenuhnya setuju dengan pernyataan ekstrim tentang pekerjaan yang hilang ini khususnya guru besar di universitas. Bukan karena saya adalah dosen sebagaimana juga Pak Rhenald Kasali, tetapi statement itu terlalu latah yang ada dimana-mana yang mengagungkan perubahan ini, dan menghilangkan kekritisan kita. Saya tidak percaya bahwa pekerjaan ini akan hilang begitu saja (guru besar/dosen/pengajar di universitas) tetapi hanya sedikit berkurang atau itu hanya sebagiannya (saja) yang mungkin berubah menjadi fasilitator. Mengajar, membimbing, dengan tetap ada interaksi guru-murid tidak mungkin hilang begitu saja, karena di sana ada wisdom atau kebijaksanaan, relasi kemanusiaan yang otentik, dan ada nilai-nilai yang tidak mungkin tergantikan dengan atau oleh teknologi digital itu sendiri.
Catatan penting dari apa yang perlu diperhatikan, beberapa kata kunci di sini adalah open mind vs disruptive, self disrupted mentality – self disruptive innovation, self driving: be a great driver dan adaptive. Dalam skala personal/individu bagaimana kita perlu work dan life yang seimbang (balance), dalam skala profesional kita perlu mengubah posisi vs gaya kepemimpinan, adanya target yang berkali lipat dan selalu siap menghadapi penantang baru. Dalam talent, akan muncul talent-talent baru (new talent) dan culture baru (new culture). Corporate culture harus disegarkan kembali bila tidak bersiaplah untuk mati. Itu semua menjadi tantangan semua eksekutif. Dan pesan terakhir, masa depan itu ada di desa bukan di kota.
Sesi berikutnya adalah bertajuk Special Interview: Indonesian Young Heroes, menampilkan Arief Widhiyasa (CEO dan Co-Founder Agate) yang DO (drop out) dari prodi Teknik Informatika ITB namun sukses membangun perusahaan bisnis game developer, kini mempunyai 127 talent/game developer dan innovators di kantornya. Lalu Musa Izzanardi Wijanarko, mahasiswa prodi Matematika ITB angkatan 2016, dimana usia saat masuk ITB baru 14 tahun, mahasiswa termuda di Indonesia yang bila dibandingkan dengan usia rata-rata anak Indonesia semestinya masih duduk di kelas 2 SMP. Uniknya ini anak tidak pernah sekolah formal, tetapi home scholling, dengan ujian baik tingkat SD, SMP dan SMAnya menempuh ujian kesetaraan atau paket (A, B, dan C). Dua yang diinterview lainnya adalah pemain badminton Tontowi A dan Liliyana N.
Ada kegundahan tersendiri ketika dua mahasiswa ITB yang boleh saya sebut agak nyeleneh atau masuk dalam kategori extra ordinary talent ini. Memang tidak dipungkiri bahwa ada orang-orang tertentu yang seperti itu, termasuk di dunia ini siapalah yang tak kenal nama Mark Zuckerberg atau Bill Gates, yang dua-duanya juga gagal saat kuliah di Harvard dan MIT atau alias DO tetapi mereka nyatanya sukses dan menjadi inovator dan pemimpin kemajuan dunia saat ini. Atau bahkan siapa yang tak kenal Jack Ma dan bagaimana riwayat pendidikannya. Kalau di arsitektur, siapa yang tak kenal Tadao Ando, seorang great architect dan guru besar arsitektur di Tokyo University (saat ini sdh pensiun digantikan Kengo Kuma) yang tidak pernah kuliah arsitektur baik S1, S2, apalagi S3.
Kegundahan saya adalah jangan sampai yang seperti ini merubah mindset kita bahwa mereka adalah contoh atau preseden untuk legitimasi bahwa untuk sukses tidak perlu lulus atau tidak perlu berhasil dalam pendidikan formalnya, hingga menggeneralisir kondisi sebenarnya. Perlu kita ketahui bahwa jumlah yang seperti itu hanya nol koma sekian persennya dari orang-orang sukses dan berpengaruh. Kalau tidak kritis kita bisa terjebak pada logika yang keliru dan tidak rasional karena statistically error. Jauh lebih banyak yang sukses adalah yang tidak seperti itu selebihnya banyak yang terpuruk atau biasa-biasa saja.
Plenary Session 1 dan 2
Diisi oleh Saikat Chatterjee seorang senior HR Executive Advisor CEB, tajuknya Global Meritocracy: Develop Local Talent and Attract Global Talent. Disini yang menarik seperti bagaimana kriteria menjadi global talent: 1) ability to influence (kemampuan memberi pengaruh), 2) ability to work in diverse (kemampuan untuk bekerja di tengah keragaman, inklusif) 3) ability to adapt in different culture, region and environment (kemampuan beradaptasi di dalam budaya, lingkungan dan wilayah yang berbeda).
Berikutnya diisi oleh Arcandra Tahar, professional talent yang menjadi Wakil Menteri ESDM, lalu Livi Zheng, seorang wanita Indonesia yang luar biasa talentanya dan menjadi Produser dan Director Film Hollywood, Sun and Moon Films, dan satu lagi Dino Patti Jalal, founder Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI). Arcandra dan Livi lebih bercerita tentang riwayat dan jatuh bangunnya hingga bisa berkarya di Amerika. Sementara Dino lebih kepada pesan-pesan dan kriteria-kriteria kesamaan para talent-talent Diaspora Indonesia yang berkarya di luar negeri yang angkanya mencapai antara 6-7 juta orang.
Kelebihan talenta Indonesia secara umum adalah rajin, tekun, semangat belajar yang tinggi sehingga bisa dan siap dilatih. Sementara kekurangannya yang mencolok adalah rendahnya kemampuan presentasi (presentation skill) yang mungkin berangkat dari kurang percaya diri atau minder. Kurangnya confidence ini terlihat dari lemahnya mengartikulasikan gagasan, pemikiran dan konsepnya saat presentasi. Mungkin juga karena budaya di sini yang merendah, atau rendah hati, tidak sombong dan lain sebagainya. Namun ini harus dibedakan antara menawarkan diri dan untuk naik jenjang atau memaparkan kemampuan diri dengan pada saat memimpin orang-orang yang sukses. Untuk memimpin orang-orang sukses betul sekali harus rendah diri, low profile dan sebagainya.
Ada ciri kesamaan dari orang-orang sukses itu, meski latar belakang dan kondisinya beda-beda, yakni yang disebut GRIT dan Persistence, dimana orang-orang itu tidak mau dan tidak mudah menyerah, ada ketekunan, keuletan, dan kesungguhan luar biasa yang tidak mau mundur dalam melangkah. Ini yang perlu digaris bawahi agar menginspirasi anak-anak Indonesia untuk meraih karir dan sukses tertingginya. Ada meritokrasi, dan pintar (dengan knowledge, ilmu pengetahuan, wawasan) saja tak cukup tetapi perlu smart atau cerdas dengan ciri mampu menerapkannya dalam kondisi-kondisi yang bisa saja sangat berbeda dan berubah-rubah.
Yang terakhir hari pertama ini ditutup dengan Talkshow: BUMN Hadir untuk Negeri. Diisi oleh Hambra, Deputy of Business Infrastructure, Kementrian BUMN dan Herdy Harman Chairman Forum Human Capital Indonesia (FHCI). Yang penting dicatat, bahwa BUMN harus menjadi agen pengembangan dan bagaimana meningkatkan value dari BUMN. Acara berakhir hingga pukul 18.30.
HARI 2
Di hari kedua ini saya tidak mengikuti sepenuhnya untuk sesi pagi, karena saya masih bersantai di hotel dan sengaja tidak berangkat pagi sebab malas macetnya. Karena hotelnya tidak walkable menuju venue, alias agak jauh harus pakai taxi atau yang lain. Tetapi setelah jumatan saya bisa mengikuti lagi sepenuhnya. Untuk itu sesi pagi saya rangkumkan sedikit dari wrap up.
Keynote Speaker
Sesi keynote speaker diisi secara panel sebagaimana hari pertama, yakni oleh Cahyana Ahmadjayadi, Expert Facilitator, Founder dan Chairman Citiasia Inc. dengan tajuk Encourage Spirit of Creating Innovation Ecosystem. Kedua oleh Signe Spencer, Senior Client Partner, Korn Ferry Institute, Korn Ferry bertajuk Strengthening Digital Leadership Competencies and Lifelong Learning for Skills Enhancement.
Digital ecosystem membutuhkan digital mindset, sekaligus juga jangan sekali-kali bertentangan dengan humanity baik secara moral maupun etika. Kemudian bertindak secara cepat, melakukan visualisasi masa depan dan mempunyai adaptive mindset adalah bentuk penguatan untuk digital leadership. Satu lagi, untuk digital leadership ini sangat diperlukan leader yang berkarakter memimpin (selalu) terdepan tetapi dengan kerendahan hati. Memimpin talent-talent hebat itu justru harus dengan kerendah-hatian.
Plenary Session
Pertama diisi oleh Firdaus Alamsjah, Executive Dean & Provost, Binus International dengan topik Creating World Class Innovators and Entrepreneuers. Catatannya inovasi membutuhkan talent yang hebat dan tepat. “Innovator itu do different, move fast, start somewhere and start small”.
After Lunch, ada 4 panel presentasi di ruangan yang berbeda secara paralel. Satu ruangan bertopik Attracting Eminent Talent dengan pembicara Ilham Habibie (Presdir PT IIthabi Rekatama, putra B.J. Habiebie) dan Achmad Zaky (Founder dan CEO Bukalapak). Ruang lainnya, bertopik Retaining High Performance Talent dengan pembicara Muhammad Ali (Director of HCM, PLN) dan Willy Saelan (Vice President HR PT Unilever Tbk), ruang lainnya lagi bertajuk Talent Nurturing for Business Transitioning dengan pembicara Sylvano Damanik (Managing Director Korn Ferry Hay Group Indonesia) dan Ihsanuddin Usman (Senior Human Capital PT Pertamina), dan ruangan satu lagi bertajuk From Challenges to Opportunities by People Analytics dengan pembicara Rukhsana Pervez (Indonesia Human Capital Director, Deloitte Consulting Southeast Asia) dan M. Hamied Wijaya (Director of HR and General Affairs PT Pelindo I).
Agak sulit memilih untuk ikut yang mana karena semuanya menarik. Tapi akhirnya saya memilih topik People Analytics khususnya mendengarkan presentasi Rukhsana Pervez. Tidak salah pilih, presentasinya sangat menarik atau tepatnya saya sukai. Menjelaskan betapa pentingnya people analytic ini, dan apa bedanya report hasil riset saja dengan people analytics. People Analytic tidak hanya deskriptif, tetapi juga prediktif, dan proskriptif. Tantangan terbesar dari data driven adalah akurasi. Betapa pentingnya akurasi data untuk kesuksesan hari ini dan masa depan. In God we trust, all others (must) bring data. Without data you are just another person with an opinion (W. Edwards Deming). You cannot manage what you cannot measure (H. James Harrington).
Menyambung soal data ini dipresentasinya Achmad Zaky, lebih tajam lagi, data is our boss katanya. Data is apolitical. It eliminates office politics because it is always right. Ironinya, di rapat-rapat kita, sering boss atau pimpinan jadi dominan, bicara ngalor-ngidul sesuatu yang tidak penting dan tidak masuk langsung pada persoalan dan (apalagi) solusinya, dengan tanpa menggunakan data hanya opini pribadi. Ini budaya yang harus berubah.
Zaky dan Bukalapak-nya menurut saya men-deconstruct semua tatanan dan corporate culture seperti di BUMN atau (apalagi) di pemerintahan. Memang mungkin presentasinya hanya sebatas sharing karena mustahil bisa dijalankan di corporate culture yang biasa dan sudah established. What is KPI? Rumit dan ngerepotin. Struktur gaji, cukup ngebit dan/atau dengan whatsapp. Kerja boleh dimana saja dan datang ke kantor boleh kapan saja sesukanya. Bahkan, ada talent-nya yang wanita karena melahirkan, boleh tidak datang ke kantor karena mengurusi baby-nya selama setahun dengan tetap bekerja. Dengan saat ini memimpin 1300 talent, Bukalapak juga turn-overnya almost zero. Bagaimana caranya? Strateginya ia gunakan sharing stocks, dan transparansi semuanya. Setiap tahun lebih dari 50ribu pelamar.
Pada kesempatan itu, di forum saya sampaikan bahwa kegundahan tentang talent orang-orang sukses pada hari pertama yang perlu diseimbangkan. Dan ini salah satu buktinya. Kalau tidak seimbang, bisa muncul mindset bahwa orang-orang sukses tidak harus juga sukses dalam sekolah atau cukup kerjaannya main game saat kuliah buat generasi millenial. Tetapi seperti Zaky dan juga Fajrin Co-Founder nya, itu mereka alumni ITB prodi Informatika dengan IP semuanya 4. Jadi semua mata kuliah tidak ada yang tidak dapat A. Orang sukses bisa dari mana saja, bisa kuliahnya DO pun bisa sukses, tetapi jumlahnya terlalu sedikit, dibanding dengan talenta hebat yang karena kuliahnya juga sukses. Terakhir adakah talkshow bertajuk Cultivating a Culture of Innovation to be a Great Nation oleh Wisnutama Kusubandio (CEO PT Net Mediatama Televisi), dan Lyra Puspa (Founder, President and Master Coach Vanaya Institute). Catatannya Innovator harus growth mindset dan dophamine (chemical for happiness and innovation), pegawai millenial sangat menguntungkan karena virtually accessible, anytime dan anywhere. Yang menarik adalah statement Wisnutama tentang loyality. Bagaimana dengan loyality talent millenial? Dia jawab: Loyality is bullshit. Loyalitas cukup kepada Tuhan, dan keluarga, atau istri misalnya. Tetapi loyalitas pada pekerjaan itu bullshit. Hehe.
Anda bisa setuju bisa juga tidak. Kalau saya hampir 90 persen setuju, saya melihat generasi hari ini, bahkan di Jepang sekalipun yang sangat kokoh dalam tradisi loyalitas pada pekerjaan, itu hanya terjadi pada orang-orang tua. Generasi muda Jepang hari ini juga bukan sesuatu yang tabu dan bahkan cenderung juga bisa terjadi pindah-pindah kerja. Apalagi generasi millenial di negara yang lain termasuk di Indonesia. Hanya dengan corporate culture yang totally dirubah dengan strategi-strategi baru untuk beradaptasi saja yang akan tetap bisa bertahan. Bukalapak mungkin menjadi salah satu contohnya dengan almost zero turn-over. Dan akhirnya catatan dari talkshow ini meyakinkan pemirsa dan pembaca bahwa Indonesia akan menjadi negara besar. Dan itu tidak lama lagi. Semoga.