Dr. Eng. Bambang Setia Budi
Presiden Indonesia Career Center Network (ICCN)
Direktur ITB Career Center
Akhir pekan ini saya beranjak berangkat dari Kota Yogyakarta menuju Kota Solo untuk selanjutnya baru kembali ke Bandung. Selama tiga hari saya di Kota Gudeg itu untuk mengikuti Pra Summit ke-3 Jejaring Pusat Karir seluruh Indonesia di Universitas Gajah Mada, dengan host ECC UGM.
Setiap kali mengunjungi dua kota ini mengingatkan saya pada perjanjian Giyanti 1755, dimana wilayah Mataram terbagi menjadi Kasunanan Surakarta dengan Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian itu dibuat oleh Pakubuwana III dengan Pangeran Mangkubumi dan Belanda. Pembagian itu pada dasarnya tak lepas dari strategi kolonial untuk memecah dan membagi kekuasaan itu menjadi lebih kecil.
Belum lama setelah itu, kembali wilayah Mataram terbagi lagi dengan perjanjian Salatiga 1757 karena konflik segitiga antara Pangeran Samber Nyawa (Raden Mas Said), Hamengkubuwana I atau Pangeran Mangkubumi (Yogyakarta) dengan Pakubuwana III (Surakarta). Perjanjian dilakukan di kantor VOC di Salatiga.
Tentu saja keterlibatan Belanda tidak kecil dalam konflik itu, yakni dengan menarik Pangeran Mangkubumi berada di pihaknya dan mendorong perjanjian untuk membagi lagi kekuasaan dan wilayah Mataram semakin kecil-kecil. Perjanjian di kantor Belanda itu, memunculkan penguasa baru yakni Raden Mas Said sebagai adipati Mangkunegaran, dengan kekuasaan membelah dari Surakarta dan sebagian kecil Yogyakarta khususnya daerah Ngawen.
Belum cukup sampai di situ, pada tahun 1813, strategi kolonial berhasil memecah lagi kekuasaan dan bekas wilayah Mataram ini khususnya Kasultanan Yogyakarta menjadi lebih kecil lagi. Yakni munculnya Pakualaman, oleh Gubernur Jenderal Sir Thomas Raffles dengan mengangkat Pangeran Notokusumo, Putra Sultan Hamengkubuwana I dari Selir Srenggorowati menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Pakualaman, dengan status mirip dengan penguasa Mangkunegaran di Surakarta. Lengkap sudah pembagian-pembagian kekuasaan dan wilayah itu menjadi kecil-kecil.
Sepanjang sejarah dapat dilihat bahwa antara para penguasa itu tidak pernah akur, satu sama lain saling berseteru dan tidak pernah bersatu. Di sini juga dilihat pihak kolonial/asing selalu bermain dan mengatur irama ketegangan-ketegangan itu agar seimbang dan terus berkelanjutan.
Akankah kita terus seperti itu? Apabila berpecah belah atau terpisah-pisah dan asyik bermain sendiri-sendiri, sebenarnya yang diuntungkan itu adalah pihak luar/asing. Karena mereka memanfaatkan kelemahan ini.
Dalam konteks hari ini, peristiwa sejarah selalu saja relevan untuk kita pelajari, renungi, dan susun langkah-langkah baru dalam menghadapi tantangan-tantangan ke depan pada semua sisi kehidupan kita dan skala bangsa saat ini.
Satu contoh misalnya terkait dengan masuknya kita di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dimana terbukanya arus barang dan jasa, modal hingga arus SDM atau tenaga profesional di wilayah negara-negara ASEAN. Tantangan ini sudah semestinya bisa dihadapi dengan kita tidak masing-masing berdiri sendiri-sendiri dalam semua lini.
Dalam skala yang kecil, masing-masing pusat karir di berbagai perguruan tinggi sudah semestinya tidak hanya memikirkan bagaimana urusannya sendiri-sendiri untuk meningkatkan layanan dan penguatan SDM masing-masing, tetapi juga perlu untuk bersinergi dan berkolaborasi untuk menguatkan kualitas SDM dalam lingkup yang lebih luas secara nasional.
Belum lagi penetrasi perusahaan-perusahaan swasta dalam kurun kurang dari 10 tahun terakhir yang umumnya juga dari luar negeri/asing yang core business nya sama atau hampir sama dengan pusat karir tetapi sangat berbeda di dalam prinsip. Mereka memanfaatkan kelemahan khususnya di bidang IT untuk mengambil aset paling berharga yakni SDM lulusan-lulusan perguruan tinggi kita. Dengan database itu mereka me-leverage dirinya menjadi sangat berharga di mata perusahaan-perusahaan yang mencari SDM barunya. Bahkan juga bukan hanya dengan perusahaan-perusahaan tetapi dengan pemerintah kita sendiri (?). Weww.
Berjejaring adalah salah satu dari persiapan dan jawaban itu, karena kita pun meyakini bahwa satu lidi akan tetap lemah sekuat apapun itu, dan tidak akan berguna untuk membersihkan seisi rumah. Namun bila lidi-lidi itu digabung dan diikat menjadi sapu maka ia akan sangat kuat, kokoh, tidak mudah dipatahkan, dan mampu membersihkan rumah dengan cepat, efisien, dan efektif.